
http://jelajahunik.blogspot.com
Dikarenakan musim kering yang lebih panjang, kawasan hutan di daerah ini tidak begitu subur dibandingkan yang ada di bagian utara kepulauan Maluku sehingga menyebabkan aktivitas yang sangat intensif pada sistem pengolahan tanah mereka yang ditanami padi, singkong, dan tanaman pangan lain, terutama di daerah pedalaman. Selain bertani beberapa orang Tanimbar juga menyambung hidup dengan cara menangkap ikan di laut atau berburu babi hutan.
Tidak seperti Weyewa, Toraja, atau Dayak, suku Tanimbar tidak mempermasahkan pertentangan antara kebudayaan asli mereka dengan kebudayaan Kristen yang dikenal secara resmi. Dengan adanya ekspedisi militer Belanda pada tahun 1912, misionaris Katolik dan Protestan mengkonversi penduduk di kepulauan ini pada tahun 20-an. Tetapi, tradisi Tanimbar tetap dipelihara melalui hubungan dan persekutuan antar desa dan perkawinan. Pada umumnya suku Tanimbar berorientasi secara sosial kepada warga desa dan anggota keluarga.
Persatuan desa dilambangkan dalam sebuah batu yang berbentuk kapal. Di acara resmi, misalnya pesta tarian tradisional, kedudukan dan status seseorang dilihat dari posisi penempatan tempat duduk terhadap kapal simbolik ini. Persaingan antar keluarga atau antar desa, tidak lagi diungkapkan dengan cara perburuan kepala manusia atau perang saudara, tetapi direpresentasikan melalui tradisi yang kompleks dan melibatkan ritual pertukaran barang-barang berharga, persekutuan perkawinan, dan persaingan antara gereja Katolik dan Protestan (satu dari mereka menganggap seorang Tanimbar anggota dari masing-masing gereja).
Suku Tanimbar berafiliasi dalam bentuk rahan (rumah) yaitu suatu unit kerjasama utama , yang bertanggung jawab untuk membuat persembahan kepada nenek moyang, biasanya menurut tradisi tengkorak mereka disimpan di dalam rumah. Rahan juga bertanggung jawab atas pemeliharaan dan distribusi pusaka / barang warisan leluhur yang terdiri atas barang-barang berharga dan tanah. Suku Tanimbar yang menganut sistem keturunan patrineal mempunyai tradisi, jika seorang anak dilahirkan, mereka akan bertanya " Orang asing atau Tuan Rumah ?". Artinya bayi laki-laki disebut sebagai seorang "Tuan Rumah" karena laki-laki diwajibkan "menetap" atau "tinggal" di rumah ayahnya. Selanjutnya pertanyaan tentang kemana seorang anak perempuan harus pergi , kewajiban dan hak-hak apa saja yang mereka dapatkan, adalah salah satu pertanyaan yang menarik dari masyarakat Tanimbar. Ada „aturan" perkawinan di mana seorang pemudi dari keluarga tertentu diharapkan untuk mengikuti aturan yang sudah menjadi tradisi tersebut, khususnya yang melibatkan hubungan antar klan yang sudah bertahan lebih dari tiga generasi.
Jika barang-barang berharga tertentu telah diterima oleh pihak keluarga sang perempuan, maka seorang perempuan sepenuhnya menjadi anggota keluarga suaminya. Kalau tidak, anaknya dianggap sebagai garis keturunan saudara laki-laki perempuan tersebut.
Secara tradisional suku Tanimbar sudah mempunyai hubungan dagang dan pertukaran barang secara lokal maupun nasional, di mana selama berabad-abad mereka terlibat dalam sistem perdagangan di Indonesia dengan cara bertukar kopra, trepang, kura-kura darat, kerang, dan sirip ikan hiu untuk ditukar dengan emas, gading gajah, bahan tekstil, dan barang-barang berharga lain. Tetapi pada abad kedua puluh, suku Tanimbar mulai menukarkan produk lokal mereka untuk barang-barang sederhana seperti tembakau, kopi, gula, periuk masakan logam, jarum, pakaian, dan barang kebutuhan sehari-hari yang lain. Di tahun 70-an dan 80-an, saudagar Cina mendominasi perdagangan di daerah ini dan karenanya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pasar ekonomi lokal.
1. Ritual Tiwah – Kalimantan Tengah Ritual Tiwah yaitu prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama sandung. Ritual Tiwah dijadikan objek wisata karen unik dan khas banyak para wisatawan mancanegara tertarik pada upacara ini yang hanya di lakukan oleh warga Dayak Kalteng
2. Kebo-keboan – BanyuwangiProsesi upacara adat Kebo-keboan yang dilaksanakan setiap tahun oleh warga Desa Alasmalang. Awalnya upacara adat ini dilaksanakan untuk memohon turunya hujan saat kemarau panjang, dengan turunnya hujan ini berarti petani dapat segera bercocok tanam.
Puncaknya prosesinya adalah membajak sawah dan menanam bibit padi di persawahan. Orang-orang yang bertingkah seperti kerbau tadi dapat kesurupan dan mengejar siapa saja yang mencoba mengambil bibit padi yang ditanam. Warga masyarakat Desa Alasmalang berusaha berebut bibit padi tersebut, karena dipercaya dapat digunakan sebagai tolak-balak maupununtuk keuntungan.
3.Adu Kerbau (Mapasilaga Tedong) – TorajaAdu kerbau diawali dengan kerbau bule.
Partai adu kerbau diselingi dengan prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro tedong, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas. Semakin sore, pesta adu kerbau semakin ramai karena yang diadu adalah kerbau jantan yang sudah memiliki pengalaman berkelahi puluhan kali.
Sebelum diadu, dilakukan parade kerbau. Ada kerbau bule atau albino, ada pula yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung yang disebut salepo dan hitam di punggung (lontong boke). Jenis yang terakhir ini harganya paling mahal, bisa di atas Rp 100 juta. Juga terdapat kerbau jantan yang sudah dikebiri—konon cita rasa dagingnya lebih gurih.
4. Rambu Solo – TorajaRambu Solo adalah pesta atau upacara kedukaan /kematian. Adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun temurun. Bagi keluarga yang ditinggal wajib membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
Setelah melewati serangkaian acara, si mendiang di usung menggunakan Tongkonan (sejenis rumah adat khas Toraja) menuju makam yang berada di tebing-tebing dalam goa. Nama makamnya adalah pekuburan Londa.
Yang unik dari upacara rambu solo adalah pembuatan boneka kayu yang dibuat sangat mirip dengan yang meninggal dan diletakkan di tebing.Uniknya lagi… konon katanya, wajah boneka itu kian hari kian mirip sama yang meninggal.
5.Pasola SumbaIni adalah bagian dari serangkaian upacara tradisionil yang dilakukan oleh orang Sumba. Setiap tahun pada bulan Februari atau Maret serangkaian upacara adat dilakukan dalam rangka memohon restu para dewa agar supaya panen tahun tersebut berhasil dengan baik. Puncak dari serangkaian upacara adat yang dilakukan beberapa hari sebelumnya adalah apa yang disebut pasola. Pasola adalah ‘perang-perangan’ yang dilakukan oleh dua kelompok berkuda. Setiap kelompok teridiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjakan tombak yang dibuat dari kayu berdiameter kira-kira1,5 cm yang ujungnya dibiarkan tumpul.
6.Dugderan – Semarangadalah sebuah upacara yang menandai bahwa bulan puasa telah datang. Dugderan dilaksanakan tepat 1 hari sebelum bulan puasa. Kata Dugder, diambil dari perpaduan bunyi dugdug, dan bunyi meriam yang mengikuti kemudian diasumsikan dengan derr.
Kegiatan ini meliputi pasar rakyat yang dimulai sepekan sebelum dugderan, karnaval yang diikuti oleh pasukan merahputih, drumband, pasukan pakaian adat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” , meriam , warak ngendok dan berbagai potensi kesenian yang ada di Kota Semarang. Ciri Khas acara ini adalah warak Ngendok sejenis binatang rekaan yang bertubuh kambing berkepala naga kulit sisik emas, visualisasi warak ngendok dibuat dari kertas warna – warni. Acara ini dimulai dari jam 08.00 sampai dengan maghrib di hari yang sama juga diselenggarakan festival warak dan Jipin Blantenan.
7.Tabuik – PariamanBerasal dari kata ‘tabut’, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam.
Pada hari yang telah ditentukan, sejak pukul 06.00, seluruh peserta dan kelengkapan upacara bersiap di alun-alun kota.Para pejabat pemerintahan pun turut hadir dalam pelaksanaan upacara paling kolosal di Sumatera Barat ini.
Satu Tabuik diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di belakang Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat musik perkusi berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Sesekali arak-arakan berhenti dan puluhan orang yang memainkan silat khas Minang mulai beraksi sambil diiringi tetabuhan.
Saat matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa ke pantai dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit, dengan membawa segala jenis arakannya.
8. Ngaben – BaliNgaben adalah upacara pembakaran atau kremasi jenazah umat Hindu Bali.
Dalam prosesi Ngaben, ketika api mulai disulut, perlahan-lahan kobaran api akan membesar dan mulai berkobar menyulut sosok jenazah. Lama-kelamaan kobaran api mulai menghanguskan jazadnya yang dipercaya akan melepaskan segala ikatan keduniawian dari orang yang meninggal itu. Bila ikatan keduniawian telah terlepas, maka semakin terbukalah kesempatan untuk melihat kebenaran dan keabadian kesucian Illahi di alam sana.
Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan, keluarga dari orang yang meninggal dibantu oleh masyarakat membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat jenazah yang nantinya dibakar.