Salah satu sendi pokok dalam Islam selain ilmu tauhid dan fiqih adalah tasawuf yang merupakan intisari dari syariat yang menjadi sendi utama dalam ajaran yang telah disampaikan oleh rasulullah SAW.
Tasawuf dilihat dari katanya merupakan masdar(kata jadi) dari fi’ilnya: “tashawwafa-yatashawwafu-tashawwufan”. Kata “tashawwafa-yatashawwafu” adalah fi’il madzi biharfaini (kata kerja tambahan dua huruf) yaitu: ta’ dan tasydid yang sebenarnya berasal dari kata kerja asli tiga huruf yang berbunyi: “shaafa-yashuufu” menjadi “shaufan”(mashdar) yang artinya: mempunyai bulu yang banyak. Perubahan dari kata “shaufa-yashuufu-shaufan” menjadi “tashawwafa-yatashawwafu-tashawwufan” dalam istilah kaidah bahasa arab memiliki arti menjadi atau berpindah.
a. Abu Bakar al-Katany mengatakan bahwa titik awal amalan tasawuf adalah akhlak, dengan demikian seseorang yang hendak mengamalkan tasawuf harus memperbaiki akhlaknya terlebih dahulu.
b. Imam Junaid al-Baghdadi[1], membagi definisi tasawuf ke dalam 4 bagian,yaitu:
1. Mengenal Allah, sehingga hubungan antara kita dengan-Nya tiada perantara.
2. Melakukan semua akhlak yang baik menurut sunah rasul dan meninggalkan akhlak yang buruk.
3. Melepaskan hawa nafsu menurut kehendak Allah
4. Merasa tiada memiliki apapun, juga tidak di miliki oleh sesiapa pun kecuali Allah SWT.
c. As-Suhrawardi mengemukakan pendapat Ma’ruf al-Kharkhy yang menyatakan bahwa tasawuf adalah mencari hakikat dan meninggalkan sesuatu yang ada di tangan makhluk (kesenangan duniawi).
d. Asy-Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi menyatakan bahwa tasawuf adalah suatu ilmu yang dapat mengetahui hal ihwal kebaikan dan keburukan, cara membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, melangkah menuju keridloan Ilahy dengan melaksanakan segala perintah, dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dari definisi diatas, dapat di kemukakan bahwa tasawuf adalah melakukan ibadah kepada Allah dengan cara-cara yang telah dirintis oleh ulama sufi, yang sering disebut dengan istilah suluk untuk mencapai suatu tujuan yaitu ma’rifat kepada segala sesuatu atas ciptaan Allah, untuk menggapai keridloan-Nya sebagai bagian menuju kebahagiaan di akhirat.
Cara pendekatan yang harus dilakukan adalah dengan mengenal asma Allah sepenuh keyakinan sehingga menyadari sifat dan af’aal Allah di dalam semesta ini. Salah satu manfaatnya adalah untuk mendidik hati kita sehingga mengenal zat Allah, semakin lapang dada, kejernihan hati dan memiliki budi pekerti yang luhur.
Dalam ilmu Tasawuf dikenal dengan macam-macam sifat terpuji dan tercela, yang pembagiannya terdiri dari:
a. Sifat Terpuji
1. Zuhud
2. Qana’ah
3. Sabar
4. Tawakkal
5. Mujahadah
6. Ridlo
7. Syukur
8. Ikhlas
b. Sifat Tercela
1. Hub al-Dunia (Cinta yang berlebihan kepada Dunia)
2. Tamak
3. Itba’ al-Hawa (Mengikuti Hawa Nafsu)
4. ‘Ujub
5. Riya
6. Takabbur
7. Hasud
8. Sum’ah
ZUHUD
Zuhud secara bahasa adalah bertapa di dunia, adapun secara istilah yaitu: Bersedia untuk melakukan ibadah, dengan berupaya semaksimal mungkin menjauhi urusan duniawi, dan hanya mengharapkan keridhoan Allah SWT. Sebagaimana yang di ungkapkan ulama:
مَا قَلَّ عَمَلٌ بَرَزَ مِنْ قَلْبِ زَاهِدٍ
“Ma Qalla amalun baraza Min qalbin Zaahidin”
(tidak ada amalan kecil yang lebih mulya dari dalam hati seorang yang menjauhi dunia, melainkan berbuat zuhud).
Zuhud dalam aplikasi kehidupannya, mampu melahirkan satu maqam dan cara hidup yang oleh para ahli tasawuf dikatakan sebagai sesuatu yang telah dicapai setelah maqam taubah. Itu karena, seseorang yang benar-benar zuhud sudah meninggalkan symbol-symbol duniawi setelah benar-benar dia melakukan taubah al-nasuuha, dengan satu pandangan bahwa hidup di dunia tak lebih daripada sebatas permainan dan canda gurau. Seperti dalam al-quran disebutkan:
إِعْلَمُوْا أَنَّمَا الْحَيوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ……
[I'lamu annamalhayah al-Dunya La'ibun Wa Lahwun: Al-Haddid:20].
Konsep ini sejajar dengan:
اَلدُّنْياَ مَزْرَعَةُ اْلاَخِرَةِ
“al-dunya mazra’atun al-aakhirah”:
Dunia sebagai ladang(bekal) di akhirat kelak, difahami bahwa tidak ada keindahan dan ketenangan hakiki melainkan merasa indah dan tenang dengan kenikmatan hidup dalam keadaan iman dan Islam dengan zuhud sebagai pegangan. Orang-orang ini, niscaya dalam hidupnya akan semakin dekat dengan khalik sang pencipta, sebagaimana hadist rasul SAW:
مَنِ ازْ دَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ زُهْدًا لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ اِلاَّ بُعْدًا
“Manizdaada ‘ilman, walam yazdad zuhdan, Lam Yazdad Min Allah illaa Bu’dan”
(Barangsiapa yang di anugerahi ilmu oleh Allah, akan tetapi tidak semakin bertambah ke-zuhud-annya, maka sejatinya orang yang seperti ini bukan bertambah melainkan semakin jauh dari jalan tuhan-Nya).
Seseorang yang secara lahir sukses dalam mempertahankan gelar akademiknya, cemerlang dalam setiap usahanya, dan bertambah keilmuan apabila melihat jam tayangnya(baca: sebagai penceramah;da’i), akan tetapi selalu melakukan perbuatan yang melanggar syari’at, tidak ada keinginan untuk mengurangi perbuatan buruk dan segera memohon taubat kepada-Nya, maka yang demikian ini bukan dekat dengan Tuhannya melainkan semakin jauh dari jalan hidayah Allah SWT.
Orang-orang zuhud selalu berusaha untuk menjauhi perbuatan dan majlis-majlis yang penuh dengan kemungkaran, dan selalu berusaha melakukan amaliyah yang hanya diredhoi Allah SWT, seperti yang dijelaskan oleh ulama:
مَنْ عَمِلَ اْلاَخِرَةَ كَفَاهُ اللهُ أَمْرَ دِيْنِهِ وَدُنْيَاهُ
“Man ‘Amila al-Aakhirat Kafahu Allah amra Diinihi Wa Dunyahu”.
Artinya: “Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan soleh(bermanfaat untuk akhirat), Maka akan Allah cukupkan segala urusan agama dan dunia-nya”.
Golongan ini, selalu berusaha dalam melaksanakan segala kewajibannya dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih, karena segala kenikmatan yang ada di dunia ini, besok akan di mintai pertanggung jawabannya kelak di akhirat,
Sebagaimana dalam surah At-takasur ayat 8 dinyatakan:
ثُمَّ لَتُسْئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيْمِ
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).
Dalam surah lain,an-Naziat ayat 37-39 di jelaskan:
فَأَمَّا مَنْ طَغىَ , وَءَاثَرَ الحْيَوَةَ الدُّنْيَا , فَإِنَّ الْجَحِيْمَ هِيَ الْمَأْوَى
Adapun orang yang melampaui batas,Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).
Dalam redaksi yang berbeda juga disebutkan:
مَنْ أَرَادَ اَنْ يَشْرِفَ فِى الدُّنْياَ وَاْلاَخِرَةِ فَلْيَخْتَرِ اْلاَخِرَةَ عَلىَ الدُّنْيَا اَلْفِتْنَةَ
“Man arada an yasyrifa fi al-dunya wa al-akhirah falyakhtar al-akhirah ‘ala al-dunya[al-fitnah]“.
Artinya:
“Barangsiapa yang menghendaki kemulyaan di dunia serta kebahagiaan di akhirat, maka mereka akan memilih kemulyaan akhirat dan menjauhi dari kenikmatan sesaat di dunia dengan segala bentuk kemaksiatan, kejahatan dan fitnah yang merajalela”.
Hal ini, seandainya mereka diberi kebahagiaan sebagai orang-orang diberi kelebihan rezeki waktu di dunia, maka dengan segera akan menginfaqkan, bersedekah dengan tujuan untuk menggapai ketaatan kepada-Nya, untuk menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan bujukan iblis dan bala tentaranya, secara rinci dijelaskan oleh ulama:
إِنَّ الزُّهْدَ لَيْسَ عِبَارَةُ عَنْ أَخْلاَءِ الْيَدِ عَنِ الْمَالِ بَلْ هُوَ أَخْلاَءُ الْقَلْبِ عَنِ التَّعَلُّقِ بِهِ
“Inna az-zuhda laisa ibaaratun ‘an akhlai al-yadi ‘an al-maal, bal huwa akhlaul qalbi ‘an ta’alluqi bihi”,
Artinya:
“Yang di namakan zuhud itu bukan ibarat orang yang menyembunyikan tangannya dari harta benda(uang, jabatan,wanita), akan tetapi zuhud yaitu menyembunyikan dari perkara yang dapat mengakibatkan kemadharatan atas segala tipu daya dunia yang fana, orang zuhud dalam hatinya terbebas dari sesuatu yang bersifat unsur duniawi, hatinya selalu condong kepada dzat Allah, melaksanakan ketaatan dan dunia hanya dijadikan sebagai perantara untuk menggapai ridho-Nya.
Dalam surah Taha ayat 131 dijelaskan:
وَلاَ تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلىَ مَامَتَّعْنَابِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَوةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَّأَبْقَى
131. Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.
Pengertian zuhud secara lebih luas, sebenarnya bukan meninggalkan kehidupan dunia secara keseluruhan, melainkan tetap mencari penghidupan duniawi, akan tetapi hanya sebatas untuk memenuhi keperluan hidup ala kadarnya, mereka bekerja dengan niat untuk menafkahi keluarga, yang merupakan kewajiban seorang suami atas anak dan istrinya, dan itu semua hanya untuk mencari ridlo-Nya, agar kelak besok lepas dari pertanggung jawaban di akhirat. Hal ini dijelaskan dalam surah al-Qashash ayat 77:
وَابْتَغِ فِيْمَا ءَاتَكَ اللهُ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَادَ فِى اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Selain itu juga dijelaskan dalam hadits:
إِعْمَلْ لِدُنْياَكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا وَاعْمَلْ لِأَخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
“I’mal lidunyaaka kaannaka ta’isyu Abadan, Wa’mal liaakhiratika kaannka tamutu ghadan”.
Artinya:
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk persediaan akhiratmu, seakan-akan engkau mati besok”.
Dalam tasawuf, seorang hamba yang lagi menjalankn perintah harus selalu merasa bahwa dirinya sedang benar-benar berdiskusi kepada Allah, kalau tidak boleh menghadirkan hati maka seyogyanya dalam hatinya sadar bahwa segala apapun aktivitasnya sedang dalam pantauan yang MahaKuasa, sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan Sayyidina Umar, beliau mendengar rasulullah SAW bersabda:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ وَإِنْ لَّمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“An ta’budallah kaannaka tarahu, waillam takun tarahu fainnahu yaraka”
Artinya:
“Ketika menyembah kepada-Nya seakan-akan kita melihat-Nya, kalau tidak mampu untuk yang demikian(melihat-Nya), maka sesungguhnya Dia(Allah)selalu melihatmu”.
Hadist ini bukan saja berlaku di saat kita melakukan ibadah(shalat)saja, akan tetapi dalam semua aktifitas kita di luar shalat pun, seseorang yang zuhud merasa dirinya selalu dalam pengawasan Allah SWT.
Dengan demikian ilmu tasawuf sebagai satu wasilah(jembatan penghubung) yang mampu memberikan effect positif kepada pengamalnya berdasarkan haluan yang telah digariskan dalam syariah Islam, seperti ungkapan Imam Asy-Sya’rani bahwa tasawuf merupakan ilmu yang dapat muncul dari hati yang bersih, dan tiada tergores sedikitpun di dalamnya. Satu hal yang paling penting dalam mempelajari ilmu ini, seperti yang telah di uraikan oleh Imam Malik, bahwa seseorang yang belajar ilmu fiqih(syariat) tanpa mempelajari tasawuf (hakikat), maka ia fasiq. Demikian juga sebaliknya seseorang yang ber-tasawuf(hakikat),tanpa mendalami ilmu fiqih (syariat), maka ia kafir zindiq, artinya kita harus amalkan kedua-duanya antara syariat dan hakikat.
Akhiran, mari kita sama-sama menghayati makna zuhud yang kemudian semoga dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.Amin.
http://imdad-gresik.blogspot.com/
http://imdad-gresik.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar