Kisah cinta kami (kalau ini pantas disebut sebagai kisah cinta) amat singkat. Dihitung sejak ikrar untuk menjalin hubungan serius hingga ke jenjang pernikahan hanya empat bulan saja. Sementara persiapan pernikahan kami saja hanya sebulan, jangan tanya bagaimana repotnya.
Setelah seperempat abad lebih aku sendiri, setelah tidak sukses menjalin hubungan dengan beberapa lelaki, setelah aku berhasil memperbaiki nasib, setelah aku pasrahkan diriku pada yang Kuasa, seseorang datang dan mengajakku menikah. Bayangkan aku menginginkan hal ini sejak lama dan seseorang menawarkan sebuah pernikahan padaku.
Kalaupun aku mengiyakan ajakannya, bukan karena aku jatuh cinta atau malu di usiaku yang sudah kepala tiga masih belum menikah. Aku menerima lelaki itu lebih karena ingin menjalankan syariah, bahwasannya makhluk hidup di dunia ini berpasangan, demikian juga manusia. Aku tidak mengenal lelaki ini dengan baik, hanya saja aku menghargai niat dan kejujurannya. Cinta aku sudah tak punya, namun ia berhasil sedikit demi sedikit menumbuhkan rasa cintaku yang lama mati.
Ketika prosesi ijab kabul, tak seperti calon mempelai perempuan lain yang kerap menangis saat meminta ijin dari ayah. Dengan mantap aku mengikuti sepatah demi sepatah kata-kata yang dituturkan penghulu saat aku meminta ijin dan restu dari ayah. Saat itu aku tengah sibuk dengan diriku sendiri, kenyataankah ini atau hanya mimpi. Betapa seringnya aku bermimpi tentang sebuah pernikahan, hingga tak lagi dapat kubedakan antara kenyataan dan ilusi.
Satu hal yang membuatku tersadar adalah saat lelaki itu mengucapkan ijab di hadapan penghulu dengan lantang. Ilusikupun berakhir. Aku memandang lelaki yang duduk di sebelah kananku, lelaki yang bakal mengisi separuh sisa hidupku, lelaki yang bakal duduk di singgasana hatiku, lelaki yang akan menjadi pemimpinku. Tak ada rasa getar sedikitpun, saat ia menoleh ke arahku sembari mengangguk, aku membalasnya dengan tersenyum.
Dua minggu seusai acara pernikahan, aku pindah ke rumah suamiku. Kami mulai membenahi rumah. Entah karena capek atau memang keduanya sedang emosi, kami sempat sedikit bersitegang. Bukan masalah yang besar sebetulnya, tapi aku harus menerima akibat dengan diacuhkan selama tiga hari. Ini amat menyiksaku, dalam satu rumah tanpa bertegur sapa. Pernah saat ia terbatuk malam hari, aku tergopoh-gopoh ke dapur mengambilkan air putih. Tapi bantuanku ditolaknya mentah-mentah. Aku malah sempat tidak tahu harus melakukan apa lagi di rumahnya setelah semua pekerjaanku beres. Akhirnya aku hanya terduduk di pojok ruangan sembari menangis diam-diam.
Aku sadari sepenuhnya kalau ini adalah proses adaptasi. Tapi aku tak menyangka kalau ia orang yang betah tidak menegur pasangannya serumah berhari-hari. Orang yang sudah pacaran bertahun-tahun bahkan yang sudah menikah belasan tahun sekalipun masih memerlukan adaptasi, apalagi aku. Karenanya saat diskusi berikutnya, masih dengan ngotot-ngototan yang dikatakannya sebagai salah satu sifat kerasku, aku katakan kalau aku tidak betah dengan sikap diamnya. Ini luar biasa, dua puluh hari pertama (belum sebulan) usia pernikahan kami, sudah terjadi dua kali pertengkaran, berikutnya tepat sebulan usia pernikahan kami dan lima hari setelahnya.
Ia kerap menganggap kata-kataku terlalu keras, bahkan ia pernah membawa strata pekerjaan dalam pertengkaran, sesuatu yang sangat aku haramkan. Karena kalau strata pekerjaan yang dibawa-bawa akan membuatnya terpojok, aku tidak mau melakukan hal itu. Bayangkan setengah tahun aku bekerja di tempatku yang baru, penghasilanku hampir menyamai gajinya. Ini yang membuatku tidak ingin membawa-bawa strata pekerjaan ke dalam rumah. Pemicu pertengkaran kadang hal sepele, kalau tidak ia yang tersinggung, aku yang sedang sensitif. Masalah membesar lebih karena dua-duanya tidak mau mengalah. Pernah suatu saat aku bingung, karena ia marah-marah. Padahal saat itu aku tengah bercanda, ternyata ia menganggap serius candaanku. Alhasil semalaman kami tidur dengan pikiran masing-masing.
Suatu pagi, saat selesai menyediakan sarapannya dan ia tak kunjung bangun padahal sudah aku bangunkan sejak setengah jam sebelumnya. Ternyata mulutku tidak mau berhenti ngoceh, meski dalam konteks bercanda. Akibatnya sebuah jawaban yang mengagetkanku, “Cerewet amat, biasanya juga sarapan diletakkan di meja dah cukup kok, gak usah pake ngoceh!“ Aku tergugu, meski sebuah semburan siap meluncur dari mulutku, sekuat tenaga aku tahan. Kalau aku balas jawab, bakal panjang urusannya. Jangan-jangan bisa sebulan aku tidak ditegur. Tiga hari saja aku sudah tidak kuat.
Diam-diam aku meninggalkannya, aku duduk di belakang sendiri sembari satu-persatu mengunyah sarapanku dengan susah payah. Begini sakitnyakah proses adaptasi itu? Aku sudah mencoba melakukan yang terbaik, sebelum dia bangun aku sudah menyiapkan sarapan dan minumnya, juga pakaian yang harus dikenakannya ke kantor pagi itu. Tanpa sadar, aku menangis. Aku hampir tak dapat menelan sarapanku pagi itu. Inikah kehidupan pernikahan itu? Amat menyiksa dan menyakitkan hati. Aku jadi paham kenapa banyak perempuan yang memilih melajang, tidak menikah dan memutuskan hidup sendiri meski ia memiliki semua kebutuhan duniawi. Beruntung suamiku cepat menyadari, segera ia menyusul kebelakang dan memelukku seraya mengucapkan maaf berulang kali.
Anehnya, pertengkaran kami tersebut kerap terjadi saat weekend, di mana aku selalu membayangkan akhir minggu yang nyaman dengannya. Sesuatu yang bagiku amat langka sekali. Aku sempat merasa takut menghadapi weekend, takut kalau akan terjadi pertengkaran lagi. Aku tidak pernah tahu apa yang ada di kepalanya soal pribadiku, tapi yang aku tahu kian hari aku makin mencintainya. Aku memang bukan tipe pengumbar kata cinta, kalau ia lelaki yang peka mestinya ia tahu hal itu.
Aku sadar sepenuhnya kalau aku sudah memiliki suami dan aku sudah tak lagi bisa egois dan bertindak semaunya. Tapi bukan berarti aku akan menerima saja kalau ada yang tidak beres di depanku. Aku tidak bisa mentolerir suami yang tidak bisa menghargai apa yang telah dilakukan istri. Meski penghargaan itu hanya berupa ucapan terima kasih semata. Kehidupanku memang baru memulai sebuah babak baru dan aku ingin kehidupan pernikahanku bisa berumur panjang bahkan hingga kami sama-sama memasuki usia senja. Karenanya tiap masalah yang aku hadapi, kuanggap sebagai sebuah pelajaran, sebuah penyesuaian dan dua hal ini akan terus aku alami sepanjang hidupku bersamanya. Semoga aku bisa melampaui fase ini.
Setelah seperempat abad lebih aku sendiri, setelah tidak sukses menjalin hubungan dengan beberapa lelaki, setelah aku berhasil memperbaiki nasib, setelah aku pasrahkan diriku pada yang Kuasa, seseorang datang dan mengajakku menikah. Bayangkan aku menginginkan hal ini sejak lama dan seseorang menawarkan sebuah pernikahan padaku.
Kalaupun aku mengiyakan ajakannya, bukan karena aku jatuh cinta atau malu di usiaku yang sudah kepala tiga masih belum menikah. Aku menerima lelaki itu lebih karena ingin menjalankan syariah, bahwasannya makhluk hidup di dunia ini berpasangan, demikian juga manusia. Aku tidak mengenal lelaki ini dengan baik, hanya saja aku menghargai niat dan kejujurannya. Cinta aku sudah tak punya, namun ia berhasil sedikit demi sedikit menumbuhkan rasa cintaku yang lama mati.
Ketika prosesi ijab kabul, tak seperti calon mempelai perempuan lain yang kerap menangis saat meminta ijin dari ayah. Dengan mantap aku mengikuti sepatah demi sepatah kata-kata yang dituturkan penghulu saat aku meminta ijin dan restu dari ayah. Saat itu aku tengah sibuk dengan diriku sendiri, kenyataankah ini atau hanya mimpi. Betapa seringnya aku bermimpi tentang sebuah pernikahan, hingga tak lagi dapat kubedakan antara kenyataan dan ilusi.
Satu hal yang membuatku tersadar adalah saat lelaki itu mengucapkan ijab di hadapan penghulu dengan lantang. Ilusikupun berakhir. Aku memandang lelaki yang duduk di sebelah kananku, lelaki yang bakal mengisi separuh sisa hidupku, lelaki yang bakal duduk di singgasana hatiku, lelaki yang akan menjadi pemimpinku. Tak ada rasa getar sedikitpun, saat ia menoleh ke arahku sembari mengangguk, aku membalasnya dengan tersenyum.
Dua minggu seusai acara pernikahan, aku pindah ke rumah suamiku. Kami mulai membenahi rumah. Entah karena capek atau memang keduanya sedang emosi, kami sempat sedikit bersitegang. Bukan masalah yang besar sebetulnya, tapi aku harus menerima akibat dengan diacuhkan selama tiga hari. Ini amat menyiksaku, dalam satu rumah tanpa bertegur sapa. Pernah saat ia terbatuk malam hari, aku tergopoh-gopoh ke dapur mengambilkan air putih. Tapi bantuanku ditolaknya mentah-mentah. Aku malah sempat tidak tahu harus melakukan apa lagi di rumahnya setelah semua pekerjaanku beres. Akhirnya aku hanya terduduk di pojok ruangan sembari menangis diam-diam.
Aku sadari sepenuhnya kalau ini adalah proses adaptasi. Tapi aku tak menyangka kalau ia orang yang betah tidak menegur pasangannya serumah berhari-hari. Orang yang sudah pacaran bertahun-tahun bahkan yang sudah menikah belasan tahun sekalipun masih memerlukan adaptasi, apalagi aku. Karenanya saat diskusi berikutnya, masih dengan ngotot-ngototan yang dikatakannya sebagai salah satu sifat kerasku, aku katakan kalau aku tidak betah dengan sikap diamnya. Ini luar biasa, dua puluh hari pertama (belum sebulan) usia pernikahan kami, sudah terjadi dua kali pertengkaran, berikutnya tepat sebulan usia pernikahan kami dan lima hari setelahnya.
Ia kerap menganggap kata-kataku terlalu keras, bahkan ia pernah membawa strata pekerjaan dalam pertengkaran, sesuatu yang sangat aku haramkan. Karena kalau strata pekerjaan yang dibawa-bawa akan membuatnya terpojok, aku tidak mau melakukan hal itu. Bayangkan setengah tahun aku bekerja di tempatku yang baru, penghasilanku hampir menyamai gajinya. Ini yang membuatku tidak ingin membawa-bawa strata pekerjaan ke dalam rumah. Pemicu pertengkaran kadang hal sepele, kalau tidak ia yang tersinggung, aku yang sedang sensitif. Masalah membesar lebih karena dua-duanya tidak mau mengalah. Pernah suatu saat aku bingung, karena ia marah-marah. Padahal saat itu aku tengah bercanda, ternyata ia menganggap serius candaanku. Alhasil semalaman kami tidur dengan pikiran masing-masing.
Suatu pagi, saat selesai menyediakan sarapannya dan ia tak kunjung bangun padahal sudah aku bangunkan sejak setengah jam sebelumnya. Ternyata mulutku tidak mau berhenti ngoceh, meski dalam konteks bercanda. Akibatnya sebuah jawaban yang mengagetkanku, “Cerewet amat, biasanya juga sarapan diletakkan di meja dah cukup kok, gak usah pake ngoceh!“ Aku tergugu, meski sebuah semburan siap meluncur dari mulutku, sekuat tenaga aku tahan. Kalau aku balas jawab, bakal panjang urusannya. Jangan-jangan bisa sebulan aku tidak ditegur. Tiga hari saja aku sudah tidak kuat.
Diam-diam aku meninggalkannya, aku duduk di belakang sendiri sembari satu-persatu mengunyah sarapanku dengan susah payah. Begini sakitnyakah proses adaptasi itu? Aku sudah mencoba melakukan yang terbaik, sebelum dia bangun aku sudah menyiapkan sarapan dan minumnya, juga pakaian yang harus dikenakannya ke kantor pagi itu. Tanpa sadar, aku menangis. Aku hampir tak dapat menelan sarapanku pagi itu. Inikah kehidupan pernikahan itu? Amat menyiksa dan menyakitkan hati. Aku jadi paham kenapa banyak perempuan yang memilih melajang, tidak menikah dan memutuskan hidup sendiri meski ia memiliki semua kebutuhan duniawi. Beruntung suamiku cepat menyadari, segera ia menyusul kebelakang dan memelukku seraya mengucapkan maaf berulang kali.
Anehnya, pertengkaran kami tersebut kerap terjadi saat weekend, di mana aku selalu membayangkan akhir minggu yang nyaman dengannya. Sesuatu yang bagiku amat langka sekali. Aku sempat merasa takut menghadapi weekend, takut kalau akan terjadi pertengkaran lagi. Aku tidak pernah tahu apa yang ada di kepalanya soal pribadiku, tapi yang aku tahu kian hari aku makin mencintainya. Aku memang bukan tipe pengumbar kata cinta, kalau ia lelaki yang peka mestinya ia tahu hal itu.
Aku sadar sepenuhnya kalau aku sudah memiliki suami dan aku sudah tak lagi bisa egois dan bertindak semaunya. Tapi bukan berarti aku akan menerima saja kalau ada yang tidak beres di depanku. Aku tidak bisa mentolerir suami yang tidak bisa menghargai apa yang telah dilakukan istri. Meski penghargaan itu hanya berupa ucapan terima kasih semata. Kehidupanku memang baru memulai sebuah babak baru dan aku ingin kehidupan pernikahanku bisa berumur panjang bahkan hingga kami sama-sama memasuki usia senja. Karenanya tiap masalah yang aku hadapi, kuanggap sebagai sebuah pelajaran, sebuah penyesuaian dan dua hal ini akan terus aku alami sepanjang hidupku bersamanya. Semoga aku bisa melampaui fase ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar