Jumat, 29 Oktober 2010

Kepunahan Lebah Memunculkan Bakteri Super

Sejak 2006, kumpulan lebah di wilayah AS saja sudah berkurang 20% – 40%. Sejumlah peternak lebah bahkan melaporkan, tingkat kepunahan lebah mereka mencapai 95% dan penyebabnya tidak diketahui.

(INTERNET)

Sementara itu di wilayah Eropa, laporan mengenai punahnya lebah juga terus bermunculan, antara lain di Jerman, Swiss, Spanyol, Portugal, Italia, Yunani, dan lain-lain. Menurut penuturan, di Swiss tercatat sekitar 40% dari total populasi lebah telah punah atau mati.

Di berbagai wilayah di Inggris, peternak lebah juga mendapati lebah dalam jumlah besar telah meninggalkan “kampung halamannya” dan pergi, meski tidak ada penyakit dan penyebab nyata lainnya. Sedangkan di Skolandia saja, tercatat ribuan ekor lebah menghilang secara misterius. Sementara di China, berkurangnya atau punahnya lebah tengah berlangsung.

Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan hilangnya lebah dalam jumlah begitu besar, masih jadi tanda tanya bagi manusia. Sejumlah orang berpendapat penyebab utamanya adalah dampak dan pengrusakan yang diakibatkan manusia terhadap lingkungan hidup, seperti penggunaan pupuk dan obat-obatan pertanian secara berlebihan, menanam tumbuhan yang telah direkayasa genetika, gangguan gelombang listrik, perang dan lain-lain.

Baru-baru ini ilmuwan Angkatan Darat AS di Maryland, dan pakar lebah dari Montana, pada tabloid mingguan PLoS ONE menyebutkan bahwa, terjangkitnya saluran usus dan lambung lebah oleh virus dan bakteri secara bergantian adalah penyebab berkurangnya lebah dalam jumlah besar. Akan tetapi, hingga saat ini masih belum diketahui bagaimana kombinasi bakteri dan virus ini membunuh koloni lebah.

Sambil kita menunggu para ilmuwan menemukan penyebab akhir dari tragedi ini, kita tidak dapat berdiam diri untuk tidak memikirkan masalah yang serius ini: jika tidak ada lebah, perubahan seperti apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?

Hasil riset ilmuwan berpendapat, sekitar 35% hasil produksi pertanian di seluruh dunia tergantung pada penyerbukan, seperti penyerbukan oleh lebah, burung, kelelawar, dan lain-lain. Dan sekitar 1/3 dari bahan pangan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung berasal dari tanaman yang diserbuki serangga.

Lebah, serangga utama yang melakukan penyerbukan yakni sebesar 60% dari seluruh proses penyerbukan. Kemudian dari laporan penelitian 2006 menunjukkan bahwa selama 25 tahun terakhir, lebah dan variasi jenis bunga yang diserbuki lebah mengalami penurunan yang sangat besar. Pakar ekologi dari Universitas Toronto Thompson, berpendapat bahwa mungkin sekali hal ini erat hubungannya dengan perubahan iklim yang sedang terjadi.

Hal ini menandakan, jika lebah yang berfungsi menjaga keseimbangan ekologi ini terus berkurang jumlahnya, banyak produk pertanian tidak akan dapat diserbuki, yang berarti tidak dapat tumbuh besar. Jika demikian halnya, apakah manusia akan berpisah dengan berapa banyak produk katun, minyak, buah-buahan?

Einstein pernah meramalkan, “Jika lebah lenyap dari bumi ini, maka sisa waktu hidup manusia hanya tinggal 4 tahun lagi!” Mungkin peringatan ini bukanlah sekedar isapan jempol belaka.

Di saat manusia sedang kebingungan mencari penjelasan atas kepunahan lebah ini, sejenis bakteri super bernama NDM-1 sedang merebak di seluruh dunia, dan saat ini telah menjangkiti ratusan orang, sedikitnya 6 orang telah meninggal dunia.

NDM-1 sendiri sebenarnya bukan nama bakteri tersebut, melainkan sejenis gen yang sifatnya melawan fungsi obat. Unsur fermentasi terbentuknya gen jenis ini dapat diuraikan menjadi antibiotik generasi baru. Begitu satu jenis bakteri mengandung gen anti obat ini, maka segala jenis antibiotik tidak akan efektif lagi untuk membunuh bakteri tersebut, sehingga sering disebut sebagai “bakteri super”. Saat ini telah diketahui beberapa jenis bakteri seperti E. Coli dan juga Klebsiella Pneumoniae radang paru-paru telah mengandung gen anti obat NDM-1 ini.

Pakar menjelaskan, munculnya bakteri super ini penyebab utamanya adalah karena manusia terbiasa menggunakan antibiotik pada perawatan medis secara berlebihan, yang pada akhirnya mengakibatkan hampir seluruh jenis antibiotik telah kehilangan fungsinya.

China merupakan negara produsen terbesar, juga merangkap sebagai konsumen terbesar antibiotik. Data menunjukkan kapasitas produksi bahan antibiotik China setiap tahunnya mencapai sekitar 210.000 ton. Sekitar 30.000 ton di antaranya diekspor ke berbagai negara di seluruh dunia, sisanya 180.000 ton untuk keperluan dalam negeri, termasuk dalam pengobatan medis, pertanian, dan juga perikanan.

Setiap penduduk China rata-rata mengonsumsi 138 gram antibiotik. Sementara AS hanya 13 gram saja. Menurut statistik, setiap tahunnya penggunaan antibiotik secara berlebihan di China mengakibatkan biaya pengobatan medis melonjak sebesar 80 miliar RMB.

Dengan kata lain, China sangat mungkin akan menjadi wilayah bencana bakteri super ini. Di Kota Shenyang, Provinsi Liaoning, China, beberapa tahun terakhir telah terjadi sedikitnya 50 kasus bakteri super, yang menandakan bahwa sinyal tanda bahaya telah berbunyi.

Saat ini sejumlah pakar medis telah mengusulkan untuk mengurangi penggunaan antibiotik secara berlebihan, untuk mencegah masalah ini. Tapi di saat yang sama pula, setiap hari ada makin banyak saja mikro biologi baru yang terus muncul, dengan cara berbeda terus mengancam keselamatan manusia, termasuk virus SARS yang mengalami mutasi, virus H1N1 yang mengalami restrukturisasi gen pada babi, manusia, unggas, dan lain sebagainya.

Menoleh kembali ke setengah abad sebelumnya, betapa manusia sangat antusias dan gembira menyambut antibiotik saat baru saja ditemukan. Namun manusia tidak mengira, penggunaan antibiotik secara berlebihan dan sembarangan tidak hanya akan merusak fungsi antibodi tubuh manusia, namun pada akhirnya akan menyebabkan bakteri menjadi memiliki kemampuan melawan obat. Di tengah perang melawan bakteri dan penyakit, apakah manusia adalah pemenangnya? Munculnya bakteri super bukankah merupakan suatu sindiran sinis alam semesta terhadap manusia?

Menanggapi masalah ini, rektor dari National Cheng Kung University, Dr. Lai Mingzhao, yang mendapat gelar Bapak Korona Virus mengusung suatu konsep yang disebut dengan istilah “hidup damai dengan bakteri, meningkatkan kekebalan tubuh, mengurangi eksploitasi yang dapat merusak tatanan ekologi”.

“Banyak virus baru, bakteri baru, hidup di tengah alam semesta ini tanpa kita ketahui. Jika kita tidak berinteraksi dengan mereka, kita akan hidup dengan damai; tapi jika kita berinteraksi dengan virus dan bakteri baru itu maka kita pun akan dapat jatuh sakit, jadi bukan berarti manusia pasti dapat menundukkan Langit, karena virus dan bakteri lebih cerdas daripada manusia. Oleh karena itu manusia harus belajar hidup damai dengan virus dan bakteri. Jika tidak, maka akan sulit bagi kita untuk bertahan hidup di tengah ajang peperangan mikro biologis ini.”

Tidak diragukan lagi, akibat kesombongan manusia yang berlebihan bahwa “manusia pasti dapat menundukkan Langit”, mengejar materi secara berlebihan, tiada hentinya merusak alam semesta, yang pada akhirnya membuat manusia terkena getahnya sendiri.

Tidak hanya sewaktu-waktu dapat menghadapi ancaman bahaya, tetapi juga telah menyebabkan kepunahan lebah sebagai makhluk yang berfungsi menjaga keseimbangan. Di manakah letak harapan umat manusia yang melakukan hal seperti ini? Mungkin, inilah saatnya bagi manusia untuk merenungkan dan mencari cara menyelamatkan lebah yang juga berarti menyelamatkan manusia sendiri.

(The Epoch Times/lie)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer