Di China kuno beredar kisah mitologi demikian: Zaman China kuno terdapat sebuah sungai besar. Dewa yang menjaga sungai itu bernama He Bo. Pada suatu hari air sungai besar itu penuh, gelombang dahsyat bergelora. He Bo memandangi permukaan air sungai yang luas dengan perasaan bangga sambil berpikir: “Di dunia ini masih adakah yang mampu menampung lebih banyak air daripada saya?”
Dia memandangi sungai kecil di sekeliling dan merendahkannya. He Bo memutuskan untuk berwisata ke berbagai tempat di sepanjang sungai, sambil memamerkan dirinya kepada mata air dan sungai kecil di sepanjang jalan yang ditemuinya.
Pada suatu hari He Bo tiba di Laut China Timur, ketika He Bo melihat laut luas tiada bertepi, melihat pemandangan yang seolah-olah menggapai langit dia merasa sangat tergoncang. He Bo berkata dengan sayu kepada Dewa Laut China Timur: “Semula saya pikir diri saya sangat hebat, hari ini berjumpa dengan Anda saya baru menyadari bahwa diri saya sangatlah kecil tak berarti.”
Dewa Laut China Timur, dengan hormat berkata: “Kakak He Bo terlalu memuji, bukankah karena Kakak He Bo dan para dewa sungai serta para dewa anak sungai tidak membenci dan menjauhiku barulah daku dapat menjadi sebesar hari ini?”
Teringat ketika saya pertama kali membaca cerita ini, saya hanya berpikir: He Bo benar-benar tidak tahu diri, tapi kemudian dengan cepat melupakannya. Saat itu saya belum dengan sungguh-sungguh menghargai arti sebenarnya cerita tersebut.
Di kemudian hari saya berangsur-angsur menemukan bahwa dalam kenyataan hidup terdapat banyak orang yang seperti He Bo, bahkan diri saya sendiri sering kali juga tanpa sadar telah menjadi He Bo.
Terkadang kita membanggakan kemampuan diri sendiri atau menjadi angkuh. Ketika berbicara terkadang dengan sadar atau tanpa sadar merasa “pintar” atau timbul rasa tidak suka ketika kecakapan kita tidak mendapat pengakuan dan penghargaan dari orang lain.
Sesungguhnya tanpa terasa kita telah terperangkap dalam jebakan yang dibuat oleh “kecakapan” diri kita sendiri, dalam perangkap tersebut kita meronta-ronta dengan susah payah namun sulit melepaskan diri.
“Apakah kita yang seperti ini dapat dianggap orang yang benar-benar cakap dan arif?” Lantas saya bertanya pada diri sendiri, “Jika kita benar-benar orang yang arif, lalu mengapa membiarkan diri kita terperangkap ke dalam situasi tanpa harapan?"
Dengan sepenuh hati saya memikirkannya, sampai pada suatu hari dalam berkultivasi Dafa atas petunjuk Guru, saya seperti memperoleh pencerahan. Ketika itu dengan takjub saya menemukan bahwa sebenarnya sebuah pintu besar telah lama terbuka dengan diam-diam di depan kita, hanya saja terserah kita apakah mau memasukinya atau tidak. Pada saat kita memasuki pintu ini barulah akan menemukan bahwa di balik pintu tersebut merupakan bentangan alam yang maha luas.
Tidak tahu apakah ketika Anda membaca cerita di atas, pernahkah memikirkan mengapa Dewa Laut China Timur begitu rendah hati? Dia jelas-jelas memiliki wilayah perairan tanpa tepi. Apakah laut luas tidak melihat keluasannya sendiri?
Saya rasa tentu saja tidak demikian, lebih tepatnya dikatakan: justru karena laut luas memiliki kearifan yang lebih tinggi, maka menjadi lebih rendah hati. Seperti halnya He Bo, jika dia selamanya tetap tinggal di satu tempat, maka dia mungkin selamanya akan berpikir bahwa dialah yang memiliki wilayah air terbesar.
Ini bukanlah karena He Bo bodoh, tapi karena pikirannya ha-nya dibatasi pada ruang lingkup yang kecil, kearifannya telah dipasung sendiri di dalam lingkup seperti itu, oleh karenanya keliru mengira dia paling luar biasa.
Laut luas karena kearifannya lebih besar sehingga pemikirannya pun lebih luas. Dia mengetahui bahwa di dalam alam semesta ini selain dirinya masih terdapat banyak sekali kehidupan yang arif. Dia tahu bahwa setiap kehidupan memiliki karakteristiknya sendiri, sebaliknya hanya mengandalkan salah satu kehidupan tidak dapat membuat alam semesta ini mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, sedangkan dalam alam semesta yang maha luas dirinya hanyalah sebuah partikel kecil.
Justru karena laut luas memiliki kearifan yang tinggi, barulah dapat membuatnya “lebih rendah hati”. Membuatnya lebih banyak melihat kekurangan diri sendiri, dengan meningkatnya kearifan juga telah membuatnya memiliki “kapasitas kemampuan” yang lebih besar.
Laut luas mengetahui, meski dirinya luas sekali, namun jika telah meninggalkan pasokan air dari berbagai sungai dan anak sungai lain, secara berangsur-angsur juga akan mengering. Meski sungai berbeda membawa materi yang berbeda ke laut, namun laut tak pernah menutup pintu bagi mereka.
Karena laut tahu bahwa mengakomodasi mereka bukan hanya merupakan kebutuhan mereka sendiri, namun kebutuhan dari semua kehidupan dalam laut, bahkan merupakan kebutuhan dunia ini. Laut tidak takut diri mereka mengering, tetapi rela menyerahkan dirinya untuk dunia ini.
Laut luas juga mengetahui meski dia memiliki kemampuan luar biasa, dan bahkan dapat menyapu daratan, menggenangi semuanya, namun dirinya tidak dapat menumbuhkan tanaman darat, juga tidak dapat membuat kehidupan darat beraktivitas secara leluasa dalam dirinya.
Laut luas tahu bahwa jika ingin membuat dunia ini makmur dan penuh vitalitas tidak akan dicapai hanya mengandalkan kemampuannya sendiri. Laut luas tahu pada hakekatnya dia bukanlah rendah hati, melainkan hanya memahami lebih mendalam diri sendiri dan dunia ini.
Ketika melihat orang-orang menyombongkan diri, laut luas sering kali menghela napas: mereka hanya dapat melihat keuntungan dan kerugian diri sendiri, tetapi tidak dapat melihat kebutuhan orang lain. Mereka mengerti bagaimana menuntut, tetapi tidak mengerti bahwa ketika tidak ada persembahan, maka tidak ada yang bisa dituntut. Mereka ingin orang lain mengerti diri mereka, “memperhatikan” perasaan mereka, namun tidak mengetahui bahwa orang lain juga mengharapkan pengertian dan pengakuan darinya.
Laut luas berpikir: andaikan semua orang dapat mengesampingkan “diriku” dalam pikiran mereka, maka semua orang akan dapat memiliki kearifan yang lebih luas. Jika semua orang menganggap kebutuhan dunia dan kebutuhan alam semesta ini sebagai tanggung jawab mereka sendiri, maka dunia dan alam semesta ini pastilah akan lebih indah dan makmur. “Diriku” yang menjadi bagian darinya juga tentu akan lebih berbahagia.
Jika semua orang bisa terlebih dahulu memikirkan orang lain dan memenuhi kebutuhan orang lain, maka kebutuhan mereka juga akan dipenuhi oleh orang lain.
Dari kisah ini saya memahami berbagai macam prinsip. Saya pikir jika kita dapat berlaku seperti laut luas yang memiliki “hati” lebih luas dalam mengakomodasi orang lain, masihkan kita perlu mengkhawatirkan bahwa “aliran sungai kecil” kita tidak akan menjadi “lautan maha luas”?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar