Rabu, 21 Juli 2010

Keraton Kasunanan Solo

BERBICARA mengenai Kota Solo, tidak lepas akan keberadaan Keraton Surakarta Hadiningrat atau lebih dikenal dengan Keraton Solo.

Istana yang dibangun Paku Buwono II pada tahun 1745 tersebut mempunyai arsitektur tradisional Jawa yang terkenal dengan menara Panggung Sangga Buwana.

ImageSaat ini, keraton masih menjadi daya tarik bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Selain karena nilai sejarahnya, nilai magis akan keberadaan keraton masih menjadi daya tarik yang tak terelakkan. Daya tarik lainnya adalah perhelatan budaya yang secara rutin digelar setiap tahun. Pihak keraton masih konsisten menjaga aset kebudayaannya yang sudah turun-temurun. Bahkan, benda-benda budaya pun masih tersimpan dengan baik di Museum Keraton.

Keraton Kasunanan Solo mempunyai luas sekitar 54 hektare. Dimulai pada Alun- Alun Utara hingga Alun-Alun Selatan. Bangunan keraton terdiri dari Pagelaran, Siti Hinggil,Kori Brojowolo, Kori Kamandungan, Kori Sri Manganti, dan Panggung Sangga Buwana. Bagian keraton lain dan tidak boleh dikunjungi wisatawan, antara lain Sasana Sewaka, Sasana Pustaka, dan Maligi.

Panggung Sangga Buwana sekarang sebagai tempat putra raja meminta wilujengan setiap malam Jumat. "Dahulu tempat tersebut digunakan untuk mengintai musuh," sebut Ramiyono, seorang abdi dalem.
Keunikan lain dari keraton, yaitu pasir yang ada di halaman keraton, tepatnya berada di halaman Sasana Seaka, berasal dari pasir Pantai Laut Selatan.

Selain bentuk fisik keraton, daya tarik bagi wisatawan adalah perhelatan budaya. Seperti Perayaan Malam 1 Suro bersamaan dengan malam tahun baru Islam 1 Muharam. Perayaan ini sudah dimulai sejak Kerajaan Mataram Islam pada zaman Sultan Agung.


Sebelumnya, telah diadakan ritual Labuhan Penjuru di Pantai Selatan, Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Alas Kerdowahono. Makna dalam upacara Labuhan ini bertujuan untuk menangkal bekala (bahaya) dari empat penjuru mata angin. Kekuatan yang melindungi keraton yaitu Sunan Lawu (timur), Kanjeng Kencono Hadisari (selatan), Kanjeng Ratu Sekar Kedaton (utara), dan Betari Kalayuati (barat).

Acara puncak pada malam 1 Suro di Keraton Solo adalah kirab pusaka keraton. Menjelang dini hari, ribuan warga Solo dan sekitarnya, termasuk turis asing, berdesak-desakan di jalan sekitar keraton. Mereka hendak menyaksikan kirab pusaka keraton. Yang cukup unik dari rangkaian acara kirab ini yaitu tradisi kirab kebo bule.

Kawanan kerbau albino yang sering dipanggil kebo bule ini menjadi daya tarik tersendiri. Kerbau bule itu merupakan kerbau keturunan Kyai Slamet. Tradisi kirab ini, bahkan membuat sebagian orang percaya bahwa sisa dari kotoran kebo pun mampu membawa berkah.

Ajang lain yang menjadi daya tarik wisatawan adalah Gerebeg Sekaten. Bentuk acara ini berupa aneka macam hiburan yang diperuntukkan untuk rakyat. Setiap malam acara ini ramai dikunjungi masyarakat luas yang ingin menikmati hiburan relatif murah.

Puncak acara ini ditutup dengan acara Gerebek Sekaten, yakni Gunungan Sekatenyang biasanya berjumlah delapan pasang atau enam belas gunungan.

Ribuan warga telah berkumpul di halaman keraton menunggu gunungan yang akan direbutkan. Setelah didoakan, gunungan yang terbuat dari makanan tradisional dan hasil bumi langsung "dirayah" beramai-ramai. Masyarakat menilai tradisi "ngerayah" gunungan ini akan membawa berkah (keselamatan).

Menurut Gusti Mung yang juga dikenal sebagai GKR Wandansari tersebut, selain bentuk bangunan keraton sendiri, selama ini keberadaan Museum Keraton juga banyak diminati. Puluhan bahkan ratusan koleksi benda cagar budaya disimpan di museum itu. Untuk dapat masuk ke museum yang juga jalan masuk ke keraton, masyarakat membeli tiket masuk sebesar Rp4.000 atau Rp3.500 untuk berombongan.

Di sisi lain, kemegahan dan keindahan kebudayaan dari Keraton Solo menyimpan persoalan tersendiri. Salah satunya pembiayaan perhelatan budaya yang digelar pihak keraton. Setiap tahun hampir mencapai Rp1 miliar. Sumber pendanaan dari Pemerintah Daerah (Pemda) tingkat I dan II serta tiket masuk ke museum dan keraton.

Menurut Gusti Mung, besarnya biaya yang dikeluarkan untuk biaya operasional ajang keraton ini membuat pihaknya sering kewalahan. Bahkan, tak jarang pihaknya harus nombok. "Kami pun terpaksa harus menombok jika biaya masih kurang," sebut Gusti Mung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer