Heran, di Medan tidak banyak orang yang antusias dengan Danau Toba. Danau terbesar di Asia Tenggara itu menyimpan gambaran ”kotor”, ”penuh keramba”, hingga ”hutan yang sudah gundul”. Seorang guru SMA mengatakan, pelayanan warga kepada wisatawan di Parapat tidak bagus. Orang membeli mangga bisa kena tipu. Aufrida Wismi Warastri & Edna C Pattisina
Untunglah seorang kawan berkata, ”Danau Toba itu luas, kita masuk dari sisi lain.”
Kata-kata itu menguatkan niat kami, apalagi ditambah kenangan tentang idola masa kecil, Julius Sitanggang, yang suaranya masih terngiang-ngiang di telinga: Danau Toba… oh Danau Toba… danau indah dan permai….
Berangkat hari Minggu pagi, dari Medan kami menuju Sidikalang, Kabupaten Dairi, untuk bertemu beberapa teman. Setelah itu menuju Tele, salah satu sudut terbaik untuk melihat Danau Toba. Di Sidikalang, kami mendapat informasi keberadaan danau di atas Danau Toba, danau di Pulau Samosir. Danau Sidihoni namanya. Sebuah imaji yang menjadi cita-cita perjalanan ini.
Perjalanan kami lanjutkan setelah sempat bimbang melihat beberapa truk mengangkut durian Sidikalang yang tersohor itu. Beli… tidak... beli... tidak…. ”Ada juga kok di Medan, malah sudah dibungkus kotak plastik, berlapis-lapis, siap masuk ke pesawat,” kata Maringan S Pardede, warga Sidikalang.
Jalan antara Sidikalang dan Tele melewati perkebunan kopi dan jeruk, berselang-seling dengan padang tempat kuda merumput di samping anak-anak yang bersuka ria, bercanda sambil mandi-mandi di air yang jernih.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 lewat, saat sesekali, sedikit demi sedikit, Danau Toba menampilkan dirinya, di antara perbukitan. Suasana jadi misterius sekaligus puitis.
Tele adalah salah satu sudut terbaik bagi umum untuk melihat Danau Toba. Sebuah menara pandang berdiri di sudutnya. Di sisi kiri tampak Gunung Pusuk Buhit, gunung mitologi Batak, yang diselimuti kabut dan awan. Di sisi kanan beberapa air terjun dari tebing Danau Toba mengalir. Di depan menara, Danau Toba terbentang. Hujan rintik-rintik turun, dingin, tetapi tak menusuk.
Beberapa orang yang datang ke Tele sering bergumam, Tele mengingatkan mereka pada pegunungan dalam film Lords of the Ring.
Hari itu jalan dari Tele ke Pulau Samosir yang menuruni bukit tengah diperlebar. Keamanan pengendara jadi taruhan. Tebing batu di sisi kiri rawan longsor, sementara jurang puluhan meter menganga di sebelah kanan. Jalanan bergeronjal, rusak. Sayang, keindahan Danau Toba menyembunyikan maut akibat infrastruktur yang buruk.
Sup ikan
Matahari nyaris tenggelam ketika tiba-tiba kami merasa mobil terguncang aneh di jalan rata. Sebuah insiden terjadi: ban mobil kami pecah. Jujur, kami tidak tahu yang namanya dongkrak, apalagi tempat ban cadangan. Beruntung, seorang pemuda asal Medan yang kebetulan lewat dengan inang dan tulang-nya rela berselonjor di bawah mobil mencari pengait ban cadangan yang telah berkarat dan membantu kami mengganti ban.
Sekitar pukul tujuh malam kami tiba di Pangururan, kota terbesar di Pulau Samosir. Kami menginap di Ambarita, disambut Jumaga Gultom, tuan rumah yang mengajak mengobrol di teras dengan suara latar empasan air Danau Toba yang berjarak dua meter dari tempat kami duduk.
Istri Jumaga, Masrida Sihombing, menghidangkan menu hari itu, sop ikan Danau Toba, yang baru dibuat karena memang hanya kami tamunya pada hari yang dingin itu. Tidak ada lagi yang kurang, setelah semangkuk panas sop ikan mujair dengan potongan tomat segar dimakan bersama nasi hangat.
Obrolan pun mengalir ke sana-kemari, dari air danau yang naik beberapa meter belakangan ini, sampai pada turis mancanegara yang tidak pernah kembali sejak tragedi bom Bali. Turis domestik cukup banyak, tetapi kebanyakan berhenti di Parapat.
Sempat kami berpandangan saat empunya rumah bercerita tentang Danau Sidihoni. ”Sebenarnya bisa cuma setengah jam dari Pangururan, tetapi karena jalan rusak dua jam pun bisa lebih,” kata dia. Dalam hati saya berkata, ban bisa pecah lagi, nih.
Kami berangkat pukul enam pagi ke Sidihoni. Di huta-huta alias desa-desa di sepanjang jalan, wajah-wajah anak kecil muncul dari rumah adat, sementara ibu mereka menyapu di halaman rumah. Ladang dan makam tempat tulang-belulang para leluhur Batak yang dikubur kembali saat upacara Mangongkal Holi berjejer di tepi jalan.
”Boru apa kau, inang?” Ringan sebuah teguran meluncur yang dengan mudah berlanjut ke percakapan panjang tentang suami, istri, anak, cucu, hingga kehidupan. Perjalanan kami terasa sederhana, tetapi nyata, masuk ke dalam kehidupan para inang dan amang di Samosir, bukan sekadar menonton sesuatu yang artifisial.
Perjalanan dari Pangururan ke Danau Sidihoni melewati jalan menanjak yang bukan saja rusak parah, tetapi hancur lebur. Jalan tujuh kilometer perlu ditempuh dalam waktu dua jam. Untungnya, pemandangan Danau Toba dari atas sangat indah. Danau Toba bahkan terlihat dalam sudut 180 derajat melebar. Hutan pinus serta bunga-bunga liar ada di sepanjang jalan.
Sidihoni
Di tengah padang rumput dan ladang, muncullah Danau Sidihoni, danau di atas Danau Toba itu. Di tepian danau yang berujud bukit tampak sebuah gereja tua mungil.
Tidak ada kesibukan wisata di sekitar danau yang sunyi sepi. Hanya sebuah warung kopi dengan beberapa pria yang asyik menongkrong dengan meja biliar dan segelas kopi. ”Dulu sering ada turis bule kemah di sini, mereka suka berenang di danau,” kata Naibaho, warga setempat.
Danau Sidihoni terletak di tengah padang rumput di Desa Ronggur Nihuta, desa tertinggi di Samosir yang terletak di ketinggian sekitar 1.500 meter. Menurut Maruhum Simalango (73), tetua masyarakat, kawasan itu tadinya hutan belukar. Rawa yang ada di tengah hutan belukar itu kemudian berubah menjadi danau. Itu terjadi ratusan tahun lalu.
Maruhum berkisah, ada cerita di balik ketenangan air danau yang luas maksimalnya bisa mencapai 5 hektar dengan kedalaman 90 meter ini. Sesekali danau ini terlihat bening sehingga mengundang para turis berenang.
Ada saat-saat istimewa ketika perubahan warna danau mengikuti kondisi republik ini. ”Pernah dua kali danau ini berwarna merah, waktu 30 September 1965 dan waktu Soeharto turun,” kata Marihun.
Untunglah seorang kawan berkata, ”Danau Toba itu luas, kita masuk dari sisi lain.”
Kata-kata itu menguatkan niat kami, apalagi ditambah kenangan tentang idola masa kecil, Julius Sitanggang, yang suaranya masih terngiang-ngiang di telinga: Danau Toba… oh Danau Toba… danau indah dan permai….
Berangkat hari Minggu pagi, dari Medan kami menuju Sidikalang, Kabupaten Dairi, untuk bertemu beberapa teman. Setelah itu menuju Tele, salah satu sudut terbaik untuk melihat Danau Toba. Di Sidikalang, kami mendapat informasi keberadaan danau di atas Danau Toba, danau di Pulau Samosir. Danau Sidihoni namanya. Sebuah imaji yang menjadi cita-cita perjalanan ini.
Perjalanan kami lanjutkan setelah sempat bimbang melihat beberapa truk mengangkut durian Sidikalang yang tersohor itu. Beli… tidak... beli... tidak…. ”Ada juga kok di Medan, malah sudah dibungkus kotak plastik, berlapis-lapis, siap masuk ke pesawat,” kata Maringan S Pardede, warga Sidikalang.
Jalan antara Sidikalang dan Tele melewati perkebunan kopi dan jeruk, berselang-seling dengan padang tempat kuda merumput di samping anak-anak yang bersuka ria, bercanda sambil mandi-mandi di air yang jernih.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 lewat, saat sesekali, sedikit demi sedikit, Danau Toba menampilkan dirinya, di antara perbukitan. Suasana jadi misterius sekaligus puitis.
Tele adalah salah satu sudut terbaik bagi umum untuk melihat Danau Toba. Sebuah menara pandang berdiri di sudutnya. Di sisi kiri tampak Gunung Pusuk Buhit, gunung mitologi Batak, yang diselimuti kabut dan awan. Di sisi kanan beberapa air terjun dari tebing Danau Toba mengalir. Di depan menara, Danau Toba terbentang. Hujan rintik-rintik turun, dingin, tetapi tak menusuk.
Beberapa orang yang datang ke Tele sering bergumam, Tele mengingatkan mereka pada pegunungan dalam film Lords of the Ring.
Hari itu jalan dari Tele ke Pulau Samosir yang menuruni bukit tengah diperlebar. Keamanan pengendara jadi taruhan. Tebing batu di sisi kiri rawan longsor, sementara jurang puluhan meter menganga di sebelah kanan. Jalanan bergeronjal, rusak. Sayang, keindahan Danau Toba menyembunyikan maut akibat infrastruktur yang buruk.
Sup ikan
Matahari nyaris tenggelam ketika tiba-tiba kami merasa mobil terguncang aneh di jalan rata. Sebuah insiden terjadi: ban mobil kami pecah. Jujur, kami tidak tahu yang namanya dongkrak, apalagi tempat ban cadangan. Beruntung, seorang pemuda asal Medan yang kebetulan lewat dengan inang dan tulang-nya rela berselonjor di bawah mobil mencari pengait ban cadangan yang telah berkarat dan membantu kami mengganti ban.
Sekitar pukul tujuh malam kami tiba di Pangururan, kota terbesar di Pulau Samosir. Kami menginap di Ambarita, disambut Jumaga Gultom, tuan rumah yang mengajak mengobrol di teras dengan suara latar empasan air Danau Toba yang berjarak dua meter dari tempat kami duduk.
Istri Jumaga, Masrida Sihombing, menghidangkan menu hari itu, sop ikan Danau Toba, yang baru dibuat karena memang hanya kami tamunya pada hari yang dingin itu. Tidak ada lagi yang kurang, setelah semangkuk panas sop ikan mujair dengan potongan tomat segar dimakan bersama nasi hangat.
Obrolan pun mengalir ke sana-kemari, dari air danau yang naik beberapa meter belakangan ini, sampai pada turis mancanegara yang tidak pernah kembali sejak tragedi bom Bali. Turis domestik cukup banyak, tetapi kebanyakan berhenti di Parapat.
Sempat kami berpandangan saat empunya rumah bercerita tentang Danau Sidihoni. ”Sebenarnya bisa cuma setengah jam dari Pangururan, tetapi karena jalan rusak dua jam pun bisa lebih,” kata dia. Dalam hati saya berkata, ban bisa pecah lagi, nih.
Kami berangkat pukul enam pagi ke Sidihoni. Di huta-huta alias desa-desa di sepanjang jalan, wajah-wajah anak kecil muncul dari rumah adat, sementara ibu mereka menyapu di halaman rumah. Ladang dan makam tempat tulang-belulang para leluhur Batak yang dikubur kembali saat upacara Mangongkal Holi berjejer di tepi jalan.
”Boru apa kau, inang?” Ringan sebuah teguran meluncur yang dengan mudah berlanjut ke percakapan panjang tentang suami, istri, anak, cucu, hingga kehidupan. Perjalanan kami terasa sederhana, tetapi nyata, masuk ke dalam kehidupan para inang dan amang di Samosir, bukan sekadar menonton sesuatu yang artifisial.
Perjalanan dari Pangururan ke Danau Sidihoni melewati jalan menanjak yang bukan saja rusak parah, tetapi hancur lebur. Jalan tujuh kilometer perlu ditempuh dalam waktu dua jam. Untungnya, pemandangan Danau Toba dari atas sangat indah. Danau Toba bahkan terlihat dalam sudut 180 derajat melebar. Hutan pinus serta bunga-bunga liar ada di sepanjang jalan.
Sidihoni
Di tengah padang rumput dan ladang, muncullah Danau Sidihoni, danau di atas Danau Toba itu. Di tepian danau yang berujud bukit tampak sebuah gereja tua mungil.
Tidak ada kesibukan wisata di sekitar danau yang sunyi sepi. Hanya sebuah warung kopi dengan beberapa pria yang asyik menongkrong dengan meja biliar dan segelas kopi. ”Dulu sering ada turis bule kemah di sini, mereka suka berenang di danau,” kata Naibaho, warga setempat.
Danau Sidihoni terletak di tengah padang rumput di Desa Ronggur Nihuta, desa tertinggi di Samosir yang terletak di ketinggian sekitar 1.500 meter. Menurut Maruhum Simalango (73), tetua masyarakat, kawasan itu tadinya hutan belukar. Rawa yang ada di tengah hutan belukar itu kemudian berubah menjadi danau. Itu terjadi ratusan tahun lalu.
Maruhum berkisah, ada cerita di balik ketenangan air danau yang luas maksimalnya bisa mencapai 5 hektar dengan kedalaman 90 meter ini. Sesekali danau ini terlihat bening sehingga mengundang para turis berenang.
Ada saat-saat istimewa ketika perubahan warna danau mengikuti kondisi republik ini. ”Pernah dua kali danau ini berwarna merah, waktu 30 September 1965 dan waktu Soeharto turun,” kata Marihun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar