Pada 1949 (tahun kemenangan PKC atas rivalnya partai nasionalis), PKC setelah mengirimkan pasukan masuk ke wilayah Tibet dan menandatangani “17 pasal kesepakatan” dengan pihak Tibet, mengakui sifat kekhususan agama, kebudayaan dan politik Tibet, menegakkan hubungan Tiongkok-Tibet yang menyerupai “satu negara dua sistem”. Akan tetapi, meski terhadap “17 pasal kesepakatan” yang menyerupai “Kesepakatan untuk takluk dimana pihak lawan sudah mengepung rapat kota” yang dibuat sendiri oleh PKC, namun PKC tak berniat mematuhinya, dan melanggarnya sendiri. Sehingga pada 1959 menimbulkan pemberontakan besar rakyat Tibet. PKC mengandalkan kekerasan, menindasnya dengan kejam, Dalai Lama pemimpin tertinggi Tibet terpaksa mengungsi.
Tak usah mengulas kejadian sesudahnya dimana terjadi pembantaian besar, penindasan besar, pengerusakan besar dan pemusnahan besar oleh PKC terhadap Tibet, hanya kita bahas 1980, pemimpin PKC waktu itu Hu Yaobang inspeksi ke Tibet, sesudah ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri penindasan dan penderitaan yang dialami orang Tibet, hati nuraninya terusik, lantas mengumpulkan kader partai PKC lokal untuk di-briefing, ia meminta: “Harus memulihkan kondisi kehidupan Tibet ke level sebelum 1959.”
Dari sini tampak nyata, PKC menuduh Tibet dulunya adalah “Masyarakat budak-petani/Nong Nu yang gelap, terbelakang dan primitif”, PKC memasuki Tibet, bukan saja tidak membawa Tibet ke kejayaan, kemajuan dan peradaban, melainkan mendorong Tibet ke arah jurang yang lebih gelap, lebih terbelakang, dan lebih primitif. Tibet di bawah pengobrak-abrikan oleh PKC, tidak cukup sebagai “masyarakat budak petani”, betul-betul adalah “neraka dunia”!
Urusan berkembang sampai hari ini, tiga wilayah Tibet, terus saja timbul masalah, ini menandakan, yang disebut “budak petani yang bangkit”, selamanya tidak pernah betul-betul tunduk terhadap PKC. Ini juga menandakan, PKC dalam menghadapi orang Tibet, keras di hati, tanpa niat melemah, ada niat bertempur dan tak berminat berunding.
Mulai 1978, Deng Xiaoping berniat mengoreksi politik ekstrim kiri yang diterapkan PKC di Tibet. Setahun kemudian (1979), Deng menemui duta khusus Dalai Lama, ia juga adalah kakak kedua dari Dalai Lama bernama: Ka Lok Toinzhub. Deng mengatakan sendiri kepada sang duta: masalah Tibet, “selain merdeka, apapun bisa dibicarakan”.
Namun mengamati kalangan elit PKC saat ini, apapun tidak mau dibicarakan. Tak peduli prinsip Dalai Lama, sedemikian menjurus ke soft dan lebih soft lagi, dari tuntutan kemerdekaan hingga berubah ke jalan tengah; dari “Pola damai” ke “Otonomi tingkat tinggi”; dari “Satu negara 2 sistem” hingga ke “Konstitusi RRC”………semuanya tidak mau didengar oleh PKC, sama sekali tak berbelas kasih.
Konon, salah satu hambatan di dalam perundingan Tiongkok-Tibet ialah, di pihak PKC, mati-matian mengharuskan Dalai Lama mengakui “Tibet semenjak dahulu kala adalah bagian dari Tiongkok”. PKC dengan jelas mengetahui, sebagai umat agama Budha, Dalai Lama tidak mungkin menuruti kemauan PKC untuk berbohong. Dalai Lama mengakui “Tibet adalah bagian dari RRC”, sudah menunjukkan niat baik yang begitu besar. PKC dengan sengaja mengeluarkan jurus menyulitkan ini, tak lain tak bukan bermaksud menolak perundingan.
Di dalam konfrontasi akhir-akhir ini, PM RRC Wen Jiabao, menteri luar negeri Yang Jiechi bahkan masih mengusung pendirian Dalai Lama pada 22 tahun lalu, yakni pendirian 1987 (tarik mundur pasukan PKC, stop imigran etnik Han) untuk membahas permasalahan, menghindar dan tidak menyinggung pendirian terbaru Dalai Lama semenjak 2002 yakni: berdasarkan konstitusi RRC, merealisasi otonomi riil Tibet.
Maka, muncul sebuah paradoks: ketika 1949, pemerintah dan rakyat Tibet mengakui dirinya sebagai “Tibet adalah negara merdeka yang berdaulat”, PKC mati-matian mengatakan “Tibet semenjak dahulu kala adalah bagian dari Tiongkok”; sedangkan saat ini, ketika Dalai Lama mengakui “Tibet adalah bagian dari RRC”, PKC malah menuduh pendirian Dalai Lama adalah “Separatis Tibet”. Hasilnya adalah, persoalan Tibet, “Merdeka” tidak bisa, “Tidak merdeka” juga tidak bisa.
Lantaran tidak ada satu jalanpun yang bisa dilalui, wajar saja, di dalam kalangan orang Tibet yang mengungsi, terdapat aliran soft yang “Melepas kemerdekaan” dikepalai oleh Dalai Lama, juga eksis aliran keras “kemerdekaan” yang dipelopori oleh para pemuda Tibet.
Sikap PKC yang membandel, membuat dunia luar tak habis berpikir. Sebetulnya, justru adalah PKC sendiri yang membutuhkan eksistensi “separatis Tibet”. Semenjak merebut Tibet, sampai ke memperbudak Tibet hingga ke memaksakan “separatis Tibet”, PKC boleh dibilang sebagai pihak yang lebih dahulu membuat urusan runyam.
Kini, “separatis Tibet” menjadi sebuah sebutan virtual yang eksis dalam jumlah besar di dalam statement PKC, seolah-olah menjadi preferensi Zhong Nan Hai (tempat tinggal para petinggi PKC). Di dalam media corong PKC, orang Tibet yang memprotes PKC, semuanya disamaratakan sebagai “anasir separatis Tibet”; orang luar maupun dalam negeri yang simpati terhadap orang Tibet, termasuk pimpinan negara asing yang menemui Dalai Lama, semuanya disebut sebagai “pendukung separatis Tibet”; Tempat berpusatnya orang Tibet dalam pengasingan di Dharamsala, disebut “markas besar separatis Tibet”; bendera yang melambangkan singa gunung salju dari Free Tibet disebut “bendera separatis Tibet”; lagu tradisional kebudayaan dan agama Tibet disebut “musik separatis Tibet”……………………..
Kata “Separatis Tibet” tidak lepas dari mulut, kalimat tersembunyi Zhong Nan Hai adalah: Anda lebih baik mengusulkan kemerdekaan, agar saya bisa leluasa menegakkan bendera besar patriotisme; jikalau tidak eksis sasaran tembak “Separatis Tibet” seperti Anda ini, bagaimana saya bisa menepuk dada sebagai “patriotisme” terhadap rakyat Tiongkok? Jika saya tidak mengibarkan tinggi-tinggi panji “patriotisme”, bagaimana pula saya melawan seruan demokrasi dan HAM? Apabila saya tak dapat lagi membendung gelombang demokratisasi, bagaimana pula bisa mempertahankan kepentingan yang diperoleh partai saya dan kesejahteraan serta jabatan tinggi kami-kami ini?
PKC mati-matian menuduh Dalai Lama sebagai “separatis Tibet”, masyarakat internasional tentu memaklumi, sikap PKC ini, adalah sengaja cari perkara; tetapi jurus PKC ini, sementara ini masih bisa mengelabuhi masyarakat Tiongkok, terutama bisa mengelabuhi para warga biasa yang minim pengetahuan mendalam tentang masalah Tibet.
PKC dalam menghadapi Dalai Lama, bukan tidak mau berunding, lebih tepatnya tidak berani berunding. Yang paling ditakuti PKC ialah, justru Dalai Lama dengan jurus soft menundukkan hard, iklas melepas teritorial tapi memenangkan keadilan dan akhlak. Maka itu mereka mengobral makian ala revolusi kebudayaan, dengan mati-matian mengutuk Dalai Lama, bagaikan orang jahat menyerang orang baik.
Dalai Lama tak henti-hentinya menjulurkan ranting zaitun (perdamaian), PKC toh tidak berani menyambutnya, yang samar-samar nampak dari luar adalah kekuasaan Hu – Wen dan kawan-kawan yang salah tingkah. Menilik lapisan pimpinan PKC pasca Deng Xiaoping, siapapun tidak memiliki kuasa mutlak, siapapun tak memiliki suara mayoritas, oleh karenanya, siapapun tak ada yang berani mengusung perubahan haluan besar kenegaraan. Demi merangkul erat posisi kekuasaan di dalam partai, hanya bisa keras lawan keras, satu lebih keras daripada lainnya, tidak untuk ditunjukkan kepada dunia luar, melainkan dipamerkan kepada kalangan orang sendiri. Dari Jiang Zemin – Zhu Rongji, sampai Hu Jintao – Wen Jiabao, semuanya mati-matian menghindari pengulangan Hu Yaobang – Zhao Ziyang (duo ketua partai dan PM pada era akhir 1980-an): diturunkan dari atas panggung karena telah membuat gerah klan kepentingan besar di dalam partai yang tak mampu melindungi dirinya sendiri dan akan berakhir dengan mengenaskan di hari tua.Penulis: Chen Pokong
(dikutip dari radio free asia 24/3/2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar