|
10 Maret 2010 adalah peringatan 51 tahun perisiwa Tibet, yakni saat pemerintahan diktator PKC melakukan tekanan berskala besar terhadap rakyat Tibet di ibukota Tibet, Lhasa, pada 1959 silam, serta peringatan 2 tahun peristiwa perlawanan berdarah yang terjadi di berbagai wilayah di Tibet Maret 2008 lalu.
Ketakutan tak beralasan saat tiba di luar negeri
Hal ini membuat saya teringat pada saat baru saja berimigrasi ke luar negeri, seorang teman bule saya memberikan hadiah berupa sebuah buku berjudul “Tanah Airku dan Rakyatku”. Waktu itu saya baru saja keluar dari China daratan, memegang buku berbahasa mandarin ejaan tradisional yang dicetak dalam posisi tegak, dan melihat di cover depan tersebut terpampang foto peraih hadiah nobel perdamaian 1989, Dalai Lama.
Hati saya mendadak diselimuti ketakutan tanpa sebab yang jelas. Saya membolak-balik buku itu, dan melihat-lihat sepintas lalu, tapi tidak begitu mengerti isi buku tersebut. Buku itu pun tergeletak begitu saja belasan tahun lamanya. Sebenarnya di dalam buku itu mengisahkan fakta yang terjadi pada Peristiwa Tibet 1959 silam.
Rakyat Tibet turun temurun menempati Dataran Tinggi Bersalju
Pada suatu seminar “9 Komentar PKC” yang diadakan oleh The Epoch Times di Sidney, banyak rekan-rekan Tibet yang menghadirinya. Pernyataan seorang Tibet waktu itu membuat saya terhanyut dalam sebuah pemikiran yang mendalam.
Ia mengatakan, PKC membangun rel kereta api, jembatan, bandara untuk kami, yang katanya bertujuan untuk memperbaiki kualitas kehidupan kami, tapi kami sama sekali tidak butuh semua itu. Saya pun terpana. Meskipun PKC sangat kejam, akan tetapi masalah pembangunan infrastruktur seperti rel kereta api dan lain sebagainya adalah hal yang sangat dibutuhkan Tibet pada saat itu.
Seusai acara, saya memutuskan untuk bertukar pikiran dengan beberapa rekan Tibet yang hadir di acara itu, barulah saya menyadari, dari generasi ke generasi rakyat Tibet sudah hidup di dataran tinggi bersalju, akar kehidupan mereka sudah tertanam di tengah alam raya itu, rasa hormat dan perlindungan mereka terhadap alam jauh melebihi segala kenikmatan materi yang ada.
Saya teringat cerita seorang teman Tibet bahwa ketika ia melewati Himalaya saat hendak melarikan diri dari Tibet, tiba-tiba ia merasa Tsampa (makanan khas Tibet) yang sehari-hari mereka makan mengandung energi yang sangat kuat, cukup makan sedikit saja sudah bisa menahan lapar. Ia berkeluh kesah atas rakyat Tibet yang senantiasa menghormati berkah dan jalan hidup yang telah diatur oleh Yang Maha Kuasa bagi hidup mereka, hingga pada akhirnya semua itu dikacaukan.
Melarikan diri dari ceng-keraman iblis PKC
Berikutnya, saat saya menggubah novel Gunung Suci Emas menjadi skenario film. Saya pun banyak berinteraksi dengan rakyat Tibet pengasingan yang ada di luar negeri. Saya mendengarkan kisah mereka, setiap kali menceritakan pengalaman mereka setetes demi setetes air mata saya terus menerus bergulir.
Padahal bagi para rakyat Tibet, hal itu sama sekali tidak seberapa, mereka justru tergugah karena butiran air mata saya. Mereka telah terbiasa melanglang buana, terbiasa bersabar, namun nurani mereka tetap saja bersahaja dan baik hati.
Lalu saya pun kembali mengambil buku Tanah Airku, Rakyatku. Mendadak saya menyadari, hanya dilihat dari sudut nasionalisme saja, tokoh pemimpin rakyat Tibet ini di tengah perjuangannya yang sulit, telah mengemban tanggung jawab bangsa Tibet yang maha berat seorang diri selama lebih dari 50 tahun lebih.
Kini semakin banyak rakyat Tibet yang hidup di luar lingkungan biara, teringat akan kisah begitu banyak rakyat Tibet yang pernah saya wawancarai, terungkap semua kehancuran yang diakibatkan oleh penjajahan PKC di Tibet, dan semakin membuat kita merasakan betapa gigih dan uletnya rakyat Tibet, serta kuatnya tekad mereka untuk melepaskan diri dari cengkeraman iblis PKC.
Seorang mantan reporter perempuan berdarah Tibet di stasiun radio Sound of India, belasan tahun lalu melarikan diri lewat Gunung Himalaya dan tiba di Dharamsala, India. Kemudian bekerja sebagai reporter. Ia bisa berbahasa Mandarin dengan sangat lancar.
Ia mengatakan pada saya, sebelum lulus SMA di Tibet, semua yang dipelajarinya adalah bahasa Mandarin. Ia hanya bisa berbicara bahasa Tibet, tapi ia tidak bisa baca tulis abjad Tibet.
Setelah lulus SMA, suatu kekuatan yang tak terlihat mendesaknya untuk meyakinkan kedua orang tuanya agar mengirimnya ke biara untuk menjadi biksuni. Keluarganya tidak mampu menahannya, akhirnya setuju untuk membiarkannya masuk ke suatu biara di sebuah gunung di luar Kota Lhasa untuk belajar agama Budha dari seorang guru tua.
Di sanalah ia mulai belajar sedikit bahasa Tibet. Saat baru tiba di biara itu, orang tuanya harus membuatkan tempat tinggal baginya, dan juga mengirim makanan untuknya secara berkala ke atas gunung itu, karena biara tidak mempunyai kemampuan ekonomi, sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup para biksuni.
Ia mengatakan, meskipun di tempat yang terpencil seperti itu pun, yang disebut PKC sebagai Tim Kader setiap hari tetap mendatangi biara mereka untuk memberikan pendidikan. Ia dan beberapa biksuni muda di sana yang tidak mampu menahan sabar pun turun ke jalanan di kota Lasha dan bergabung dengan yang lain meneriakkan kemerdekaan Tibet.
Baru dua teriakan mereka pun langsung ditangkap polisi, dan divonis 3 tahun kerja paksa. Setelah keluar dari kamp kerja paksa, mereka dan sejumlah orang Tibet lainnya melarikan diri ke India lewat gunung bersalju.
Seorang sastrawan yang menguasai dua bahasa Tibet dan Mandarin, juga seorang peneliti senior, saat di Qinghai setelah lulus dari perguruan tinggi ia bekerja di Departemen Pendidikan. 9 Mei 1993 ia ditangkap oleh polisi Provinsi Qinghai dengan tuduhan tawanan politik Tibet, dan ditahan selama 4 tahun.
Di dalam penjara ia menulis kumpulan puisi dalam bahasa Tibet yang berjudul Kumpulan Puisi Bui yang di dalamnya memuat 103 buah puisi. Kini ia adalah peneliti “perbatasan Tibet – China” yang direkrut secara khusus oleh Pusat Riset Pemerintahan Pengasingan Tibet Untuk Masalah Tibet dan juga sebagai penulis kontributor.
Seorang ibu muda, membawa putrinya yang berusia 5 tahun dengan gigih mendaki Gunung Himalaya. Putrinya kini sudah duduk di bangku sekolah menengah. Ia mengatakan, waktu itu ibu dan paman bergantian menggendongnya, satu persatu gunung bersalju itu mereka daki. Dalam setiap kelompok orang Tibet yang melarikan diri pasti ada beberapa di antaranya yang terkubur di tengah gunung salju itu.
Di tengah perbincangan dengan ibu ini, saya menemukan bahwa ia adalah seorang penyanyi lepas, teman-teman yang lain pun bertepuk tangan meriah mendorongnya untuk membawakan sebuah lagu.
Suaranya yang lembut, nada yang tinggi, perlahan telah menerobos berbagai dimensi. Di tengah angkasa mengisahkan setiap orang Tibet yang telah melarikan diri ke luar negeri harus mampu melewati ujian mendaki gunung salju yang berlapis-lapis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar