Menurut catatan kitab sejarah kuno: Shi Ji (史記), Qu Yuan adalah pejabat bersih Raja Chu Huaiwang pada masa Chunqiu yang dengan gigih mengusulkan bersekutu dengan Negara Qi (baca: chi) untuk melawan Negara Qin (baca: chin).
Waktu itu China terdiri dari sejumlah negeri kecil dengan sistem pemerintahan independen di bawah Dinasti Zhou tapi satu sama lain sering kali saling serang dan menganjurkan pengangkatan pejabat bermoral plus berkemampuan agar tercapai negara makmur dan kuat pertahanan militernya, tapi ia mengalami tentangan dari kaum bangsawan, lantas difitnah dan dipecat dari jabatannya serta diusir dari ibu kota dan dibuang ke wilayah terpencil di Provinsi Hunan kini.
Di dalam pembuangannya, ia menulis syair-syair yang penuh kepribadian dan bergaya unik serta berpengaruh luas yang mengkhawatirkan nasib negara dan rakyat. Oleh karena kala itu kaum pejabat korup merajalela di Negara Chu dan mengacaukan jalannya pemerintahan, pada 278 SM, pasukan Qin berhasil menduduki Ibu kota Chu.
Qu Yuan menyaksikan negerinya diagresi, hatinya tersayat-sayat, namun ia tak tega jua meninggalkan Negara Chu, maka pada tanggal 5 bulan kelima kalender Lunar (yang pada tahun ini jatuh pada 16 Juni), setelah merampungkan karya terakhirnya ia memeluk batu besar dan menceburkan dirinya ke sungai.
Konon setelah Qu Yuan bunuh diri, masyarakat Negara Chu saling berebut mendayung perahu berusaha memberikan pertolongan dan mengejar hingga ke Danau Dong Ting. Selain itu massa yang berperahu juga hendak mengusir ikan-ikan di sungai tersebut agar jazad Qu Yuan tidak sampai dimakan oleh mereka. Kelak, setiap hari kematian Qu Yuan, perlombaan perahu naga menjadi salah satu acara kegiatan perayaan. Lomba tersebut selain marak di Negara Chu juga di Negara Wu dan Yue serta menjadi adat istiadat utama Hari Raya Duan Wu.
Seperti yang dikutip dari kitab kuno, perlombaan sampan naga sudah ada sejak zaman Zhan Guo (Periode Negara Berperang, 475 SM - 221 SM). Dengan diiringi tabuh genderang mereka berlomba mendayuh sampan tunggal kayu yang terbentuk bagaikan naga, acara penghibur tersebut merupakan salah satu acara di dalam ritual penghormatan kepada Dewata. Kemudian, perlombaan perahu naga menyebar dan digemari di berbagai negara, termasuk Indonesia, Jepang, Vietnam, Inggris dan lain-lain.
Kebiasaan lainnya pada perayaan ini adalah makan bakcang (mandarin: Zongzi, 粽子), konon, sesudah Qu Yuan meninggal, rakyat Negara Chu sangat bersedih. Mereka berduyun-duyun membanjiri tepi Sungai Miluo untuk melayat Qu Yuan. Seorang nelayan mengeluarkan makanan berupa kepalan nasi, telur dan lain sebaginya, “plung, plung…” dicemplungkanlah makanan tersebut ke dalam sungai, ia mengatakan biar disantap oleh ikan, udang dan kepiting, agar tidak menggigit jazad Qu Yuan. Kemudian orang-orang mulai menirunya.
Seorang sinshe tua membawa satu guci arak dan menuangkannya ke dalam sungai, dengan harapan memabukkan penghuni sungai yang berupa naga dan sejenisnya agar tidak mengganggu jenazah Qu Yuan. Kemudian lantaran khawatir kepalan nasi itu disantap sang naga sungai, maka orang-orang berpikir dengan membungkusnya menggunakan daun pohon Chinaberry (Melia Azedarach) dan diikat dengan tali/pita berwarna, yang akhirnya berkembang menjadi bakcang yang kita kenal sekarang.
Bakcang sudah sejak lama ditemukan dan banyak macamnya. Menurut kitab kuno, pada masa Chunqiu ada pula yang dimasukkan ke dalam tabung bambu lantas beras dan campuran lauk tersebut dipanggang sampai matang, dinamakan bakcang tabung. Hingga sekarang ini, setiap awal bulan Mei (kalender Imlek) setiap keluarga rakyat China harus merendam beras ketan, mencuci daun pembungkus bakcang dan membuat beraneka ragam bakcang sesuai ciri khas kedaerahan masing-masing.
Ditilik dari bahan pengisinya, di daerah utara sekitar wilayah Beijing terkenal dengan bakcang Angco (Jujube merah), di selatan terkenal dengan jenis isian: pasta kacang manis, daging segar, ham, kuning telur bebek dan lain sebagainya. Adat kebiasaan makan bakcang, sudah melewati masa ribuan tahun, di China selalu saja kebiasaan itu berjaya, bahkan menyebar sampai ke Korea, Jepang dan beberapa negara Asean.
Selain itu anak-anak di Hari Raya Duan Wu biasanya ada yang mengenakan kantung mini berisi bahan aroma untuk menolak bala atau menghalau penyakit. Di dalam kantungan aroma tersebut diisi dengan: cinnabar, realgar, pewangi dan lain sebagainya yang dibungkus dengan kain sutera. Aromanya memancar ke segala arah, kemudian di-simpul dengan benang sutera lima warna, dijadikan berbagai macam bentuk dan diuntai jadi satu, sangat beraneka ragam dan menggemaskan. (Zhengjian.net/whs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar